Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ketika Pembelajaran Diminta Dalam, Tapi Sistem Masih Dangkal : Cerita Pahit-Manis dari Ruang Kelas


Seputar Dunia Pendidikan - 
Menebar Ilmu Berbagi Pengalaman. Pembelajaran mendalam selalu terdengar heroik dalam seminar dan modul pelatihan: siswa diajak berpikir kritis, meneliti, menganalisis, dan menemukan makna di balik setiap konsep. Tetapi ketika jargon itu dibawa masuk ke kelas, guru justru menemukan kenyataan yang lebih getir daripada kopi sachet tanpa gula. Sebab pembelajaran mendalam bukan hanya soal metode, tetapi soal budaya, keberanian, dan tentu saja: sistem yang sering kali—maaf—lebih ribet dari remote AC hotel yang tombolnya tidak jelas fungsinya.

Tantangan pertama adalah mindset. Selama puluhan tahun, sekolah memuja hafalan dan kecepatan mengerjakan soal. Pembelajaran mendalam menuntut sesuatu yang berlawanan: waktu yang panjang, ruang untuk bertanya, bahkan kesempatan untuk bingung. Padahal kebingungan adalah tanda awal berpikir. Namun di banyak sekolah, kebingungan dianggap kekurangan. Akibatnya, guru cenderung bermain aman, kembali ke metode ceramah, karena itu paling cepat mencentang banyak kolom di laporan supervisi.

Tantangan kedua adalah beban administratif. Inilah ironi terbesar dalam sejarah pendidikan: guru diminta menciptakan pembelajaran bermakna, tetapi waktunya habis untuk mengunggah berkas, mengisi format, dan mencetak rekap yang tebalnya seperti skripsi mahasiswa. Sulit rasanya meminta guru mengajak siswa menyelam ke kedalaman konsep, sementara guru sendiri sedang tenggelam oleh laporan yang tak pernah diperiksa dampaknya pada pembelajaran.

Tantangan ketiga adalah infrastruktur. Pembelajaran mendalam menuntut kolaborasi, proyek, eksplorasi digital, dan akses sumber belajar. Tapi bagaimana melakukannya jika internet putus-sambung dan colokan kelas cuma satu? Guru akhirnya kembali pada papan tulis dan spidol, tapi tetap dituntut menghasilkan pembelajaran abad 21. Seperti diminta memasak rendang dengan kompor sumbu—secara teoritis bisa, tapi praktiknya membuat frustrasi.

Implikasinya? Pembelajaran mendalam hanya akan menjadi slogan indah yang dipajang dalam pelatihan, tetapi gagal tumbuh sebagai praktik sejati. Padahal bila diterapkan dengan benar, ia dapat melahirkan siswa yang mandiri, reflektif, kreatif, dan peduli lingkungan sosialnya. Dunia kerja vokasi pun sangat membutuhkannya—bukan tenaga yang hanya terampil, tetapi yang mampu berpikir dan memecahkan masalah dunia nyata.

Apakah guru siap? Banyak yang siap belajar, siap berubah, dan siap mencoba. Yang mereka butuhkan bukan ceramah tentang inovasi, melainkan ruang untuk berinovasi. Bukan motivasi yang menggebu, tetapi sistem yang mendukung. Guru bukan tidak mampu; mereka hanya sering dibiarkan berjuang sendirian.

Jika ingin pembelajaran mendalam tumbuh, sistem harus berhenti bekerja secara dangkal. Sebab bagaimana mungkin kita berharap siswa menyelam, jika gurunya saja masih berdiri di pinggir kolam sambil membawa map tebal penuh administrasi ?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari guruahmadfauzi.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Guru Indonesia", caranya klik link https://t.me/guruindonesiagroup, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Posting Komentar untuk "Ketika Pembelajaran Diminta Dalam, Tapi Sistem Masih Dangkal : Cerita Pahit-Manis dari Ruang Kelas"